KENDARI, KOMPAS.com - Pengusaha lokal di Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali menjajaki ekspor kayu jati putih (gemelina arborea) ke Jepang setelah terhenti selama hampir 10 tahun.
"Pada 1998 hingga 2002 ekspor kayu jati pernah kami lakukan namun terhenti karena ketersediaan bahan baku lokal terbatas," kata salah seorang eksportir kayu jati Ilham Tahir di Kendari, Kamis (14/10).
Menurut Ilham, prospek ekspor kayu jati cukup besar namun karena ketersediaan bahan baku pada waktu itu yang terbatas, kegiatan ekspor pun hanya dilakukan pada waktu tertentu.
Namun, belakangan ini tanaman kayu jati putih yang dikembangkan masyarakat di sejumlah daerah di Sultra rata-rata sudah mulai berproduksi namun terkendala pada masalah pemasaran. "Dengan peluang ini, kami akan kembali berupaya untuk kegiatan ekspor dengan harapan ketersediaan bahan baku mencukupi," katanya.
Di Jepang, bahan baku kayu jati putih tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan industri perabot rumah tangga yang menghasilkna berbagai produk cinderamata bernilai jual karena serat dan warna kayu bila sudah diolah hasilnya cukup bagus. Bahkan, pengusaha di Jepang menjadikan produk kayu jati putih untuk menghiasi bagian atas (langit-langit) rumah, hotel, dan restoran mewah.
"Meskipun dari segi kualitas kayu itu masuk dalam kategori sebagai kayu kelas bawah, namun karena proses pengolahannya dengan menggunakan teknologi maju, harga jual dipasaran tetap bersaing dengan produk kayu kualitas tinggi," katanya.
Ilham yang juga sabagai tokoh masyarakat yang merintis usaha pengembangan dan penyediaan bibit kayu jati putih pada era 1997 itu mengatakan, luas areal tanaman kayu jati milik petani yang siap diproduksi saat ini mencapai ribuan hektare.
"Kalau harga kayu jati putih pada 2000-an hanya berkisar antara Rp 5 juta per ha, dengan permintaan pasar mancanegara saat ini harganya bisa mencapai Rp 50-Rp100 juta per hektare, tergantung pada diameter kayu tersebut," katanya.